1. Film Laskar Pelangi
(2008) Laskar
Pelangi (2008) adalah sebuah film garapan sutradara Riri Riza yang
dirilis pada 25 September 2008 dan merupakan adaptasi dari novel
karangan Andrea Hirata, pada saat libur . Skenarionya ditulis oleh
Salman Aristo yang juga menulis naskah film Ayat-Ayat Cinta dibantu oleh
Riri Riza dan Mira Lesmana. Hingga Maret 2009, Laskar Pelangi telah
ditonton oleh 4,6 juta orang. Lebaranhemesongnya (by Nidji) pun sampai
sekarang masih menjadi Lagu yang laris di Indonesia.
2. Film Tjoet Nja’ Dhien (1986)
Sebuah
masterpiece ! Tak ada yang menyangkal Tjoet Nja’ Dhien (1986) dibilang
begitu. Film debut penyutradaraan Eros Djarot itu butuh waktu dua tahun
buat menyelesaikannya. Pemeran utamanya, Christine Hakim jadi legenda
hidup gara-gara film ini. Berkat Tjoet Nja’ Dhien, setiap aktris muda
pasti menyebutnya sebagai panutan atau bintang idola. Tak ada yang
menyangkal pula, sebagai Tjoet Nja’ Dhien, Christine berakting sempurna.
Tak cuma Christine saja yang serba bagus di film ini. Filmnya sendiri,
sebagai sebuah kesatuan karya sinema, nyaris tanpa cacat (diganjar 8
Piala Citra di FFI 1988). Tjoet Nja Dhien tak berisi uraian biografis
kehidupan pahlawan dari Tanah Rencong itu. Melainkan juga berisi drama,
pengkhianatan, dan kebesaran jiwa. Tak aneh rasanya kalau Tjoet Nja’
Dhien merupakan puncak pencapaian dunia perfilman kita yang belum
terlewati hingga kini.
3. Film Naga Bonar (1986)
Lewat Naga Bonar,
Asrul Sani lagi-lagi membuktikan bakat besarnya sebagai salah satu
penulis cerita terbaik yang pernah dipunyai negeri ini. Asrul piawai
menghadirkan dialog yang memicu tawa, yang begitu dipikir lebih dalam
ternyata mengandung makna luhur. Naga Bonar hadir buat berkelakar.
Namun, ia tak berkelakar sembarangan. Yang jadi bahan kelakar justru
pejuang negeri saat perang kemerdekaan berlangsung. Naga Bonar menyindir
pemujaan pada para pahlawan. Film ini berpesan, tak semua pejuang di
masa lampau itu punya niat suci membela negeri. Ada yang cuma bisa
bicara saja. Nah, Jenderal Naga Bonar (diperankan dengan gemilang oleh
Deddy Mizwar) pun aslinya pencopet. Tapi dari sosok inilah kemurnian
perjuangan lahir. Sebagai karya sinema, Naga Bonar tampil lengkap,
berisi sekaligus menghibur; tergarap dengan baik, tanpa cacat cela.
Pantas rasanya bila film ini memborong 7 Piala Citra di FI 1987.
4. Film Ada Apa dengan Cinta? (2001)
Ada Apa dengan
Cinta? (AAdC?) jadi salah satu film penting negeri ini. Melahirkan tren
yang sudah lama hilang dari jagad sinema kita: film bertema remaja.
Selepas AAdC? lahir film-film bertema sejenis. Tren itu juga merambah ke
teve. Sejak AAdC?, datang berduyun-duyun sinetron bertema remaja.
Rasanya, sejak Gita Cinta dari SMA (1979) dulu baru ada lagi film
Indonesia yang begitu digandrungi remaja. AAdC? tak kurang ditonton
sekitar 2,7 juta orang di bioskop. Rudi Soedjarwo, sang sutradara,
begitu lancar bertutur (Rudi dapat Piala Citra di FFI 2004).
5. Film Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985)
Film baik tak
lekang dimakan zaman. Bertahun-tahun selewat peredarannya, film itu
masih asyik buat ditonton. Nah, Kejarlah Daku Kau Kutangkap tipe film
seperti itu. Penonton tak sekadar diajak tergelak. Semua ini berawal
dari skenario cerdas yang dibuat Asrul Sani, pengarahan kuat dari
Chaerul Umam, sang sutradara, yang digenapi akting prima dari Deddy
Mizwar, Lydia Kandou, Ully Artha, dan Ikranegara. Hasilnya, film ini
layak ditasbihkan sebagai situasi komedi terbaik yang pernah dihasilkan
sineas kita. Asrul berhasil membuat kelakar jenius tentang hubungan pria
dan wanita. Dalam film ada hubungan Ramadhan (Deddy) dan Mona (Lydia)
yang berkisar antara cinta dan benci, cinta dan gengsi, hingga cinta
akhirnya mengalahkan segalanya.
6. Film Badai Pasti Berlalu (1977)
Badai Pasti
Berlalu jadi film Teguh Karya yang paling laris ditonton. Tak kurang,
saat beredar dulu, film ini masuk urutan kedua film terlaris 1978
(ditonton 212.551 orang). Padahal buat Teguh sendiri, ia terpaksa
membuat film itu. “… ingin nafas, dan balas budi dari film-film
terdahulu yang kurang laku. Selain saya ingin memvisualkan sebuah novel
ke dalam bahasa visual,” ujarnya seperti dimuat Pikiran Rakyat pada
1978. Badai Pasti Berlalu memang diangkat dari novel pop. Hasilnya, ya
film pop. Sebelum diangkat jadi film, kisahnya memang sudah populer
duluan saat dimuat bersambung oleh Kompas dan kemudian dinovelkan.
Hingga saat difilmkan, orang tentu ingin menontonnya. Apalagi yang
membuatnya Teguh Karya, sutradara yang piawai membuat film-film bermutu.
Selain itu, yang membuat Badai Pasti Berlalu dikenang juga lantaran
tata musik berikut lagu temanya yang digubah Eros Djarot. Lagu temanya
abadi hingga kini.
7. Film Arisan (2003)
Untuk ukuran
tahun 2000-an sekarang, Arisan! paling tepat ditunjuk sebagai film yang
menelanjangi kehidupan di zamannya. Tanpa tedeng aling-aling, Arisan!
menampilkan problematika hidup kaum borjuis Jakarta. Ada perselingkuhan,
dilema cinta sesama jenis, hingga upaya mempertahankan nilai-nilai
keluarga. Semuanya campur-aduk dalam balutan komedi segar. Kepiawaian
sang sutradara, Nia DiNata, menggarap realitas ini mengingatkan kita
pada kemampuan senada yang dimiliki sutradara besar lain macam Sjuman
Djaya atau Asrul Sani. Nia tak cuma menghibur, ia juga mengajak penonton
untuk jujur pada diri sendiri. Pesannya jelas, kehidupan kaum jetset
Jakarta dipenuhi topeng alias kemunafikan. Arisan! juga jadi darah segar
saat perfilman kita yang bangkit lagi dipenuhi film remaja dan horor.
Di luar itu, Arisan! yang jadi film terbaik FFI 2004 ini juga melahirkan
bintang baru. Tora Sudiro (pemeran Sakti yang gay) namanya.
8. Film Gie (2005)
Soe Hok Gie,
aktivis mahasiswa 1960-an, telah jadi sosok bak pahlawan. Pandangan dan
kisah hidupnya memikat Mira Lesmana dan Riri Riza, pemilik Miles
Productions. Keduanya lantas menggagas buat mengangkat kisah hidup Gie
ke layar lebar. Hasilnya jadilah Gie. Akor ganteng Nicholas Saputra
didapuk memerankan Soe Hok Gie. Tentu tampang Nico yang ganteng tak
mirip Gie asli, akan tetapi ia bisa berakting (buktinya Nico diganjar
FFI 2005 buat aktor terbaik). Sebuah gagasan yang mengingatkan kita pada
mahakarya Usmar Ismail, Lewat Djam Malam (1954).
9. Film Si Doel Anak Betawi (1973)
Saat karya sastra
diangkat ke layar lebar—di antaranya Salah Asuhan (1972)— Sjuman Djaya
memilih mengadaptasi novel Aman Datoek Madjoindo berjudul Si Doel Anak
Betawi. Ini cerita seputar suka-duka kehidupan Doel, seorang anak Betawi
asli. Doel diperani Rano Karno saat masih kecil. Suka duka kehidupan
Doel yang mencari figur ayah (setelah ditinggal mati ayahnya), melawan
kerasnya hidup (ia harus membantu ibunya berjualan kue buat menyambung
hidup), sampai menghadapi tekanan anak-anak nakal terekam baik.
10. Film Petualangan Sherina (1999)
Sebuah tontonan
yang mengingatkan kita pada Home Alone (). Kala anak kecil mempecundangi
orang dewasa. Petualangan Sherina jadi film besar lantaran dianggap
sebagai penanda kebangkitan perfilman nasional. Sebelum Petualangan
Sherina, bioskop tanah air melulu diisi film esek-esek. Baru setelah
film ini datang, orangtua mengantre mengajak anaknya ke bioskop.
Petualangan Sherina bertahan di bioskop selama berminggu-minggu. Film
karya Riri Riza ini mampu mengundang 1,6 juta penonton ke bioskop. Jika
Petualangan Sherina bukan film menarik, penontonnya mungkin tak sebanyak
itu. Pada kenyataannya, sebagai karya sinema Petualangan Sherina
bukanlah film buruk. Riri mampu bercerita dengan lancar diselingi lagu –
lagu Sherina — ini film musikal.